Jepang merupakan negara dengan kasus bunuh diri tertinggi. Namun, saat ini masyarakat Jepang mempunyai pilhan lain selain bunuh diri, yakni menghilang atau dikenal dengan sebutan Jouhatsu.
Jouhatsu mengacu pada orang-orang di Jepang yang dengan sengaja menghilang dari kehidupan mapan mereka tanpa jejak.
Istilah ini sudah ada di Jepang puluhan tahun. Namun, masyarakat Jepang masih memandang hal tesebut sebagai hal yang tabu.
Istilah lain dari Jouhatsu adalah melarikan diri. Kegiatan melarikan diri ini bukan sembarang, karena terdapat organisasi yang membantu mereka untuk mengatur pemindahan.
Mereka cukup mendaftar dan membayar, selebihnya perusahaan tersebut akan mengatur strategi kabur, mencarikan tempat tinggal, mengganti nama, dan urusan sipil lainnya.
Hal ini terlaksana secara profesional, layaknya pelayanan imigrasi. Data klien sudah mereka pastikan aman dan rahasia.
Keberadaan kasus Jouhatsu sama sekali tidak diketahui oleh keluarga atau kerabat, sehingga menjadi sebuah pertanyaan.
Meninggal tidak, hidup pun tidak tau. Hal yang lebih mengherankan lagi beberapa pihak keluarga tidak melaporkannya kepihak polisi untuk diusut.
Menyebabkan beberapa kasus orang hilang menjadi cold case atau kasus tertunda, bahkan beberapa penyelidikan kasus Jouhatsu pun tutup.
Mengutip Time, ada sekitar 100.000 orang Jepang menghilang setiap tahun. Namun, Jouhatsu mungkin tidak terlapor dalam nomor resmi.
Pada tahun 2015, Badan Kepolisian Nasional Jepang telah mendaftarkan 82.000 orang hilang, dan 80.000 ditemukan pada akhir tahun ini.
Sebagai perbandingan, pada tahun yang sama, Inggris memiliki 300.000 panggilan untuk melaporkan orang hilang, meskipun memiliki sekitar setengah dari populasi Jepang. Selain itu, database orang hilang tidak ada di Jepang.
Alasan yang mendorong mereka melakukan ini bermacam-macam. Mulai dari lilitan hutang, depresi berat, hingga masalah percintaan.
Biasanya mereka melakukan ini untuk memulai kehidupan yang baru.